Kisah Gito Rollies & Michelle
Bangun Sugito, penyanyi rock bertampang ugal-ugalan yang beken dengan nama Gito Rollies, kini, seperti katanya, memperbaiki citra dirinya. "Gue sudah tua, tampang berandal sudah tidak cocok lagi," katanya. Rambutnya yang kribo kini dicukur pendek. Minuman keras mulai dijauhinya.
Sekarang ia rajin salat lima waktu dan membuka-buka Alquran. Satu lagi perubahan: Gito sudah nikah - resmi Istrinya, bukan artis, juga bukan orang Indonesia. Ia menyunting gadis Belanda totok, Isolde van de Revt, kelahiran Bangkok dua puluh tiga tahun yang lalu. Perkawinan dilangsungkan di KUA Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, secara Islam 1 September 1984u. "Yang tak ada sangkut pautnya dengan keluarga, pokoknya, tidak diundang. Tak ada pesta, tak ada resepsi."
Di mana ketemunya? "Pokoknya, gua pacaran sama dia sudah tiga tahun," ujar Gito tanpa menjawab apa yang ditanya. "Saya suka pribadinya, ia masuk Islam karena kata dia apa yang terkandung dalam Quran sejalan dengan pikirannya."
Michelle, panggilan bininya itu, lancar berbahasa Indonesla. Ia mengajar di Play Group Pondok Indah, dekat dengan rumah orangtuanya yang saat ini bekerja di perwakilan KLM - pcrusahaan penerbangan Belanda. Dan Gito, penyanyi yang terjun ke film ini, tinggal di rumah mertuanya itu. Enak, ya? "Wah, saya tak bisa berkomunikasi dengan mertua. Mereka tak bisa berbahasa Indonesia, gua sendiri kagak gablek bahasa sono," jawab Gito. (Tempo; September 1984)
Kisah Cinta Gito dan Uci Bing Slamet
Sudah tiga tahun Uci Bing Slamet pacaran dengan Bred Ford, penyanyi berdarah indian-Spanyol, yang berdomisili di AS. Uci masih berat untuk menikah, karena Uci sulit pisah dengan mama dan Galih, putrinya.
Di pesta pernikahan penyanyi Deddy Dores pertengahan bulan lalu, Uci Bing Slamet digandeng seorang cowok. Pacar? "Bukan, teman kok, sama-sama orang film," jawab Uci.
Lalu, yang mana pacar putri almarhum Bing Slamet ini? Tidak ada di Indonesia.Ia jauh di Amerika. Sudah tiga tahun ini Uci pacaran dengan Billy Bred Ford, penyanyi berdarah campuran Indian-Spanyol, yang berdomisili di AS. "Karena kesibukan, sudah delapan bulan kami tak bertemu," ujar Uci lagi. Padahal, Billy sudah berulang kali meminta Uci untuk menjadi istrinya. Sebenarnya, Uci pun didesak keluarganya untuk segera menikah, mengingat usianya sudah 30 tahun. "Kalau saya terima, artinya saya harus ikut ke Amerika, ini berat -- sebab saya sulit pisah dengan mama," alasannya. Ia kini memang tinggal di Jalan Arimbi bersama ibunya.
Yang juga diberatinya adalah Galih. "Kalau ke AS, saya harus bawa Galih, padahal mama dan neneknya di Bandung sangat sayang," kata Uci lagi. Galih, kini delapan tahun, adalah anak Uci dari Gito Rollies. Tentang Gito, penyanyi rock, Uci berkomentar: "Dia bukan jodoh saya, kalau jodoh kan dia tak kawin dengan Michele." Michele itu istri Gito yang resmi.
Menurut Uci, Gito dan Michele sangat sayang pada Galih. Hubungan Uci dan Gito pun lancar. "Saya seperti saudara dengan Gito, istri, dan keluarganya. Kalau Galih kangen bapaknya, saya antar ke rumah bapaknya di Bandung," Uci melanjutkan. (Tempo, Januari 1991)
Galih Kenang Itikaf Bersama Sang Ayah
Di mata Galih Satria Permadi, Gito Rollies adalah sosok ayah yang membanggakan dan teladan. Sangat jelas terkenang oleh Galih saat beritikaf bersama sang ayah. Meski sudah mengetahui penyakit kanker kelenjar getah bening yang diderita ayahnya, Galih tetap terhenyak saat mendapat kabar Gito Rollies meninggal.
"Saya kaget kali, saya tidak menyangkanya," ujar Galih lirih kepada detikbandung, sembari menitikkan air mata yang tak kuasa ditahan.Anak Gito dari pernikahannya dengan Uci Bing Slamet itu sangat dekat dengan ayahnya. Berbagai kenangan indah semasa hidup mantan rocker yang kemudian menjadi dai itu pun melekat di ingatan Galih.
Yang paling indah dituturkannya yaitu, saat diajak Gito itikaf ke mesjid-mesjid di wilayah Bandung. Kegiatan ini terakhir kali dilakukan pada November 2007."Saat itu ayah mengajak saya itikaf ke mesjid-mesjid. Ini pengalaman yang sangat berharga bagi saya dan ayah saya. Hal ini beberapa kali kami lakukan," tutur Galih.
Setelah mengetahui ayahnya meninggal, Galih mengiklaskannya.Baginya, seorang Gito Rollies adalah orang yang bijaksana, tegas dan disiplin. "Ayah mengajarkan banyak hal pada saya," kenangnya. (Detik Bandung)
Album Terakhir Gito Rollies
Rasanya ini adalah album solo pertama Bangun Sugito Tukiman atau yang lebih dikenal sebagai Gito Rollies,eksponen dari grup brass rock Bandung The Rollies. Sejak memilih jalan Allah, Gito Rollies memang lebih mencurahkan suasana musikal dengan lagu bertema Islami. Karakter vokalnya yang bluesy memang masih mencuat.
Beberapa waktu sebelumnya, Gito Rollies lebih banyak tampil sebagai bintang tamu di album religius semisal di albumnya Opick dan beberapa nama lainnya. Kali ini,menjelang tibanya bulan suci Ramadhan (2007),Gito Rollies hadir lebih utuh. Setidaknya ada 2 hits the Rollies yang dibawakan kembali oleh Gito Rollies yaitu Hari Hari karya Oetje F Tekol yang diambil dari album New Rollies Vol.3 di tahun 1978 dan lagu Kau Yang Kusayang dari album Kemarau New Rollies di tahun 1979.
Tetapi tema lirik kedua lagu The Rollies itu diubah sedikit pada bagian liriknya menjadi lebih Islami. Lagu Hari Hari tampaknya yang banyak mengalami perubahan makna lirik, dari tema lirik yang cenderung hedonistik duniawi berubah menjadi tatanan religius yang kental.Lirik Hari Hari digubah ulang oleh Agus Idwar, mantan Snada.
Sedangkan lagu Kau Yang Kusayang yang aslinya dinyanyikan Delly Djoko Alipin atau Delly Rollies dengan lengkingan vokal yang tinggi, kini dibawakan dengan syahdu. Makna kekasih pun bergeser menjadi kecintaan terhadap Allah SWT. Gito menyanyikan dengan dukungan kelompok Gigi.
Uniknya, kedua lagu tersebut baik Hari Hari dan Kau Yang Kusayang justru ditulis oleh pemusik Nasrani yaitu Oetje F Tekol dan Ignatius Hadianto, adik kandung almarhum A. Riyanto. Suara serak Gito Rollies memang mampu menyejukkan penikmatnya. Paling tidak lagu-lagu yang dikemas di album ini menjadi suluh untuk mengingatkan langkah kita sebagai manusia. Simak saja lagu Detik Hidup
Detik detik berlalu
Dalam hidup ini
Perlahan tapi pasti
Menuju mati
Atau simaklah lirik sejuk lainnya :
bangun tidur
bersihkan isi hati
bersihkan kotoran di hati
jelang malam
ikhlaskan hari ini
banyaknya keinginan yang tak kudapati
Ah, andai kita semua bisa melakukan semua apa yang dilantunkan Gito.
Denny Sakrie, Pengamat Musik
Tidak Untuk Ajojing
Band Rollies, Bandung, masih mencari bentuk yang mantap : mengkombinasikan jazz, rock dan musik klasik.
Dengan mendapat kunjungan yang berlimpah, band Rollies dari Bandung tampil di Teater Terbuka TIM 2 dan 3 Oktober 1976. Separuh penggemar rock domestik pernah menyangka bahwa grup ini adalah salah satu raksasa musik pop yang bakal memberikan udara baru bagi perkembangan musik. Harapan diletakkan pada pribadi-pribadi pemain yang mempunyai kecakapan memainkan berbagai alat musik, memiliki latar belakang musik yang serius, serta kemampuan vokal yang yang merata, termasuk seorang maskot bernama Gitoselalu berusaha meniadi James Brown Indonesia. Hidup grup ini pernah putus karena adanya persoalan yang menyangkut komposisi pemain. Kini para penggemarnya bilang: "Raksasa itu bangkit lagi".
Lebih dari 10 alat gesek berbaris di belakang mereka untuk memberikan latar yang empuk terhadap musik keras mereka yang kadangkala menyerupai jazz, soul, rock dan klasik. Lagu buka mereka yang pertama adalah sabetan dari album Rick Wakeman yang bernama The Myths and Legends of King Arhur. Lagu yang pernah menjadi pujaan remaja ini dibawakan dengan baik serta memberikan kesan pertama yang mantap. Banyak orang terpagut lalu diam-diam mulai mencoba mempercayai anak-anak yang dipimpin oleh Benny Likumahuwa (30 tahun) itu.
Dalam penampilan selanjutnya, Rollies masih terus mencoba untuk memanfaatkan barisan penopang mereka yang terdiri dari 2 pemain cello, 2 alto, 8 biola. Sehingga awak mereka, yang total jenderal berjumlah 26 orang, telah mencoba mengisi seluruh ruang Teater Halaman dengan bunyi santai campur bunyi-bunyian keras. Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago
- Benny LikumahuaSudah dicoba untuk mengadakan komposisi penampilan silih berganti antara yang lembut dan yang keras.
Tetapi variasi-variasi tersebut hanya sempat membersitkan kesan bahwa Rollies masih hendak mencari bentuk yang mantap. Mereka belum menetapkan warna mereka dengan jelas, kecuali memang kemudian tampak kaya karena telah memainkan berbagai macam kemungkinan dalam diri mereka. Terutama sekali rupa-rupanya mereka bakalan banyak mengandalkan alat-alat tiup. Warna mereka mirip pada jazz rock sebagaimana yang dihasilkan oleh grup Chicago. Hal ini diakui terang-terangan oleh Benny. "Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago". Bedanya, Rollies masih memperalat lagu-lagu orang lain, sementara Chicago sudah satu dengan lagu-lagu mereka.
Menonjol malam itu adalah Bangun Sugi-to alias Gito, lelaki berambut kribo yang berusia 28. Vokalis ini memiliki tampang yang cukup komersiil sebagai pajangan di atas panggung. Ia mengenakan seragam putih dengan pita-pita di leher. Gerakan-gerakannya luwes dan merangsang. Dia gemar berteriak-teriak tapi berhasil mem-berikan interpre-tasi dan penjiwaan pada la-gu-lagu yang dibawakannya hingga penon-ton seperti terbawa serta. Ia nyabet lagu James Brown yang bernama Man's World dan kemudian menyanyikan lagu I've been loving too long yang penuh dengan variasi. Orang tidak peduli lagi apakah ia masih doyan narkotik yang pernah melahapnya selama 3 tahun. Suaranya yang serak dan lantang serta enerjinya yang berlimpah-limpah seringkali terlalu diobral, sehingga kadangkala ia lebih terasa menyanyi untuk memuaskan, dirinya sendiri daripada untuk didengarkan penontonnya.
Tapi Gito tak ayal lagi merupakan tontonan yang menarik, di samping Delly Joko yang duduk dengan tenangnya menunggui keyboard. Suaranya bagus, sopan tetapi memikat, merupakan kunci penenang suasana manakala sudah habis diobrak-abrik Gito.
Ajojing
Malam itu, sempat pula sebuah lagu buah tangan Stravinsky yang berjudul Fire Bird dari khazanah klasik diturunkan. Benny yang kurus jangkung dengan pakaian yang menyilaukan, berdiri dengan seriusnya memimpin alat-alat gesek, sementara rekan-rekannya kemudian masuk memberikan aksentuasi yang merubah lagu klasik itu menjadi separuh panas. Banyak juga yang mengantuk karena sebelumnya mengharapkan Rollies akan terus mendentum-dentum. Tapi sementara para pengamat musik, kelihatannya bisa menghargai usaha-usaha Rollies dalam mencari warnanya sendiri. Apalagi mereka tidak lupa untuk mempersembahkan sebuah lagu Indonesia karangan mereka sendiri yang bernama Setangkai Bunga yang manis dan mengarah lagu-lagu jenis "hiburan" pribumi dari kelas yang "mantap".
Penampilan Rollies yang kuyup hujan pada malam kedua masih merupakan tanda-tanya. Karena mereka sendiri tidak dengan jelas menggariskan musiknya sehingga para peminatnya pun masih meraba-raba. Naga-naganya mereka akan mengawinkan jazz, rock dan musik klasik. Mereka yang suka lagu-lagu untuk "ajojing" tidak akan lama tertarik pada grup ini. Tetapi penonton yang suka menikmati musik sebagai musik, mungkin akan menganggapnya sebagai sebuah usaha yang berharga. Asal saja Rollies mampu melaksanakan perkawinan itu tidak hanya dalam lagu-lagu berbahasa Ingggeris, tapi lagu-lagu ciptaan mereka sendiri.
Cari yang aneh
Grup ini sebenarnya sudah berusia 9 tahun. Pernah menggegerkan karena pemain drumnya -- Iwan tewas di ujung jarum narkotik. Kini dengan pimpinan Benny Likumahua (Flute/sax) yang sering muncul bersama Jack Lesmana, Rollies mencoba tampil dengan formasi baru: Uce F Tekol (bass), Delly Joko (keyboard), TZ Iskandar (sax), Didiet Maruto (sax), Jimmy Manoppo (drum), Bonnie Nurdaya (gitar utama), Bangun Sugito (vokal), Benny sendiri sax. Rollies baru mengumpulkan 5 LP (2 buah di Singapura). Sejak 2 bulan yang lalu mereka teken kontrak di klab malam Flamingo. Berikut ini wawancara dengan Benny dan Gito.
Anda merasa masuk kelompok musik apa?
Kami tidak menyebut Rollies kelompok rock, kami belum berani menyebut kelompok apa. Tujuan kami memang untuk menjadi kelompok jazz rock yang baik. Tetapi kami sendiri bukan spesialis rock. Sudah terlalu banyak kelompok rock. Cari yang aneh sedikit. Jazz rock, oke, Funky, oke, juga sedikit klasik.
Mengapa condong ke jazz rock?
Memang sengaja kami arahkan ke sana dan ternyata kawan-kawan setuju. Alasannya, jazz rock lebih luwes dalam segi mendapatkan penggemar bisa lebih luas. Saya yakin orang-orang akan bisa menerima, meskipun mereka agak terlambat menerima musik-musik yang berat. Saya melihat jazz rock sudah punya publik, sementara golongan menengah ke atas. Publik musik di Indonesia memang masih kacau. Maksud saya, publik yang baik adalah publik yang tidak memaki-maki kepada jenis pertunjukan yang tak disukainya, paling mereka terus pergi.Jadi yang senang senang pop tak memaksakan nonton jazz yang senang jazz tak memaksakan diri nonton rock.
Kenapa Rollies main di klab malam?
Kami tidak mengingkari, kami butuh uang juga. Tapi yang penting, dengan bermain di klab malam kami sering bertemu, anggaplah itu suatu latihan. Kami memang sedang membina kekompakan.
Kenapa jarang membawakan lagu-lagu sendiri?
Kami tak punya kesempatan rekaman-rekaman lagi. Produser takut musik macam kami nggak laku. Tapi apa jeleknya membawakan karya-karya orang lain? Coba lihat Andy William dan Tom Jones kan mereka juga membawakan karya-karya orang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar