Juni 19, 2010

SEKILAS ALMARHUM GITO ROLLIES


SEKILAS ALMARHUM GITO ROLLIES

MENGENANG ALMARHUM GITO ROLLIES
Siapa yang tidak kenal kang Gito Rollies ?, eksistensinya di dunia musik Indonesia yang begitu lama, sejak tahun 70’ an sampai sekarang membuat dia dikenal oleh lintas generasi, baik kaum bapak-bapak dan ibu-ibu (yang ditahun 70’ an masih menjadi kawula muda dan akrab dengan musik the Rolies, musik anak muda pada waktu itu) maupun para ABG jaman milenium sekarang sekalipun image ‘sang maestro’ tersebut sudah agak bergeser kepada sosok yang akrab dengan simbol-simbol agama Islam.
Pada mulanya, wajarnya anak muda yang punya energi berlebih, kang Gito ditahun 70’an ikut arus pergaulan, bahkan dalam beberapa hal malah menjadi simbol dari ‘gaya’ anak muda pada waktu itu, pakaian kucel dan celana jean belel ala hippies, hidup diisi dengan pesta pora dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan mabuk dan ‘ngeboat’ dijalaninya sebagai kegiatan sehari-hari. Kalau kita berimajinasi, seandainya kang Gito ‘konsisten’ dengan gaya hidupnya sampai sekarang, terbayang gambaran laki-laki setengah baya, lima puluhan dengan rambut keriting gondrong acak-acakan, pakai anting ditelinga kiri, umumnya selalu mengenakan baju kaos buntung memperlihatkan tato ‘metal’ dibahu. Walaupun muka sudah tergurat raut ketuaan, namun cara berbicara masih tidak kalah dengan ABG, banyak pakai bahasa gaul dan sedikit agak teler. Kalau lagi manggung terbayang gerakan-gerakan energik, loncat dan berlari dari satu ujung panggung ke ujung yang lain, sambil sesekali berteriak ‘memanasi’ penonton.
Namun sosok kang Gito yang kita lihat sekarang benar-benar diluar perkiraan, hampir tidak pernah kita lihat dia tidak memakai baju gamis Arab, atau model ‘Pakistani’, kopiah putih dikepala yang berambut pendek, kadang-kadang menenteng tas kain sederhana, berjenggot panjang dan sebagian sudah terlihat memutih. Bicarapun sudah tidak meledak-ledak, agak kalem, bahkan sering nyeletuk ‘ subhanallah, masya Allah, astaghfirullah’, Dan kalau lagi manggung menyanyikan lagu, lebih sering yang bernuansa ke-Islaman bahkan tidak jarang dilantunkan sambil menangis.
Ketika ditanya mengapa dia sekarang selalu bergaya ‘sangat Islami’ dan cenderung memperlihatkan simbol-simbol ‘yang kebanyakan merupakan budaya Arab, bukan suatu hal yang prinsipil dalam ajaran Islam’, menarik sekali jawabannya. Kang Gito berkisah ketika pada saat hatinya terbuka terhadap ajaran Islam, dia sebenarnya sudah mulai mengurangi kebiasaan-kebiasaan maksiatnya. Dia sudah jarang pergi ke pesta-pesta urakan, mengurangi minum-minum dan bermabok-mabokan dan ‘ngedrug’. Namun lingkungan pergaulannya yang sudah dijalaninya bertahun-tahun tidak serta merta memahami hal tersebut, selalu saja ada ajakan untuk kembali ‘tercebur’ baik datangnya dari teman yang tidak mengetahui perubahan pada dirinya maupun yang sudah tahu tapi beranggapan ini hanya ‘angin surga’ sementara. Ketika kang Gito memutuskan untuk merubah gaya pakaiannya termasuk memelihara jenggot, maka dia merasa seperti mempunyai ‘benteng’ dengan identitas barunya itu. Teman-temannya mulai segan mengajak kepada hal-hal buruk yang dulunya lumrah mereka lakukan bersama-sama, dia betul-betul merasa terlindungi. Rupanya baju gamis, pakistani, peci putih dan jenggot, secara psikologis tidak sinkron dengan kemaksiatan.
Memang kelihatan agak aneh, kalau misalnya kita melihat seorang laki-laki berbaju gamis, pakai sorban dan berjenggot ‘gaya’ ustadz Abu Bakar Baasyir, mondar mandir keluar masuk tempat-tempat maksiat di Lokasari, Mangga Besar misalnya. Sekalipun mungkin bukan bermaksud hendak melakukan maksiat, namun pastilah timbul pertanyaan dibenak pelacur maupun germo yang mangkal disana : “pakai sorban koq kesini?”. Bahkan bagi pihak yang berpakaian simbol-simbol itupun akan berpikir seribu kali untuk pergi mendekati tempat maksiat, minimal mungkin akan mengganti pakaiannya dengan pantalon, kemeja, dasi atau jas gaya Eropa, karena memang pakaian tersebut terlihat ‘nyambung' dengan tempat-tempat seperti itu. Ada pengalaman seorang teman ketika melakukan jamuan bisnis, mengajak relasinya ke sebuah karaoke. Kebetulan teman tersebut belum sempat bercukur sehingga wajahnya dihiasi jenggot agak panjang. Seperti biasa di ‘karaoke room’ mereka memesan perempuan penghibur untuk menemani dan pertanyaan pertama yang diterimanya dari perempuan penghibur tersebut adalah : “ Bapak punya jenggot koq mainnya di karaoke?”
Seribu empat ratus tahun yang lalu, Rasulullah berkata kepada para sahabat :”Hendaklah kamu memelihara jenggot”, disitu Rasul yang ummi sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat besar, memproklamirkan suatu identitas yang secara psikologis akan memisahkan umat dari perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Disitu Rasulullah menciptakan ‘benteng yang tidak terlihat’ yang bisa dipakai umat untuk menjaga dirinya dari ketersesatan.
Demikianlah seharusnya kita memandang ajaran-ajaran Islam, kita sebaiknya berpikir melihat sisi positifnya dan mampu memanfaatkan ajaran tersebut menjadi sesuatu yang menunjang kegiatan beragama kita. Tidak seharusnya umat Islam ‘yang sudah maju’ berpikiran apriori , seolah-olah simbol-simbol Islam tersebut adalah gambaran dari cara berpikir sempit dan ketinggalan jaman, lebih merupakan budaya Arab, tidak sesuai lagi dengan tata pergaulan modern, dan yang lebih aneh lagi, ketika kita merubah ‘baju’ dari gamis dan sorban kepada kemeja, jas dan dasi, sebenarnya kita cuma berpindah dari suatu simbol ke simbol yang lain., yang belum tentu bisa menggambarkan terpisahnya kesalehan dan kemaksiatan.
Memang dengan menunjukan identitas ke-Islaman, kita bisa tergelincir kepada ria, pamer bahkan sampai dipakai untuk menipu calon mertua misalnya (supaya kelihatan orang baik-baik), namun tentunya semuanya berpulang kepada diri masing-masing, untuk itu kita bisa belajar dari kang Gito, memakai simbol-simbol Islam ternyata membuat dia bisa selamat, kalau tidak hari ini kita masih melihat Gito Rollies sebagai seorang penyanyi urakan, berlompat-lompatan dipanggung seperti orang kesurupan, lupa bahwa umur makin tua, makin dekat ke batas akhir.
-Dengarkan Nasyidnya duet bersama Opick-Tahun 1976

SEKILAS ALMARHUM GITO ROLLIES

MENGENANG ALMARHUM GITO ROLLIES
Siapa yang tidak kenal kang Gito Rollies ?, eksistensinya di dunia musik Indonesia yang begitu lama, sejak tahun 70’ an sampai sekarang membuat dia dikenal oleh lintas generasi, baik kaum bapak-bapak dan ibu-ibu (yang ditahun 70’ an masih menjadi kawula muda dan akrab dengan musik the Rolies, musik anak muda pada waktu itu) maupun para ABG jaman milenium sekarang sekalipun image ‘sang maestro’ tersebut sudah agak bergeser kepada sosok yang akrab dengan simbol-simbol agama Islam.
Pada mulanya, wajarnya anak muda yang punya energi berlebih, kang Gito ditahun 70’an ikut arus pergaulan, bahkan dalam beberapa hal malah menjadi simbol dari ‘gaya’ anak muda pada waktu itu, pakaian kucel dan celana jean belel ala hippies, hidup diisi dengan pesta pora dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan mabuk dan ‘ngeboat’ dijalaninya sebagai kegiatan sehari-hari. Kalau kita berimajinasi, seandainya kang Gito ‘konsisten’ dengan gaya hidupnya sampai sekarang, terbayang gambaran laki-laki setengah baya, lima puluhan dengan rambut keriting gondrong acak-acakan, pakai anting ditelinga kiri, umumnya selalu mengenakan baju kaos buntung memperlihatkan tato ‘metal’ dibahu. Walaupun muka sudah tergurat raut ketuaan, namun cara berbicara masih tidak kalah dengan ABG, banyak pakai bahasa gaul dan sedikit agak teler. Kalau lagi manggung terbayang gerakan-gerakan energik, loncat dan berlari dari satu ujung panggung ke ujung yang lain, sambil sesekali berteriak ‘memanasi’ penonton.
Namun sosok kang Gito yang kita lihat sekarang benar-benar diluar perkiraan, hampir tidak pernah kita lihat dia tidak memakai baju gamis Arab, atau model ‘Pakistani’, kopiah putih dikepala yang berambut pendek, kadang-kadang menenteng tas kain sederhana, berjenggot panjang dan sebagian sudah terlihat memutih. Bicarapun sudah tidak meledak-ledak, agak kalem, bahkan sering nyeletuk ‘ subhanallah, masya Allah, astaghfirullah’, Dan kalau lagi manggung menyanyikan lagu, lebih sering yang bernuansa ke-Islaman bahkan tidak jarang dilantunkan sambil menangis.
Ketika ditanya mengapa dia sekarang selalu bergaya ‘sangat Islami’ dan cenderung memperlihatkan simbol-simbol ‘yang kebanyakan merupakan budaya Arab, bukan suatu hal yang prinsipil dalam ajaran Islam’, menarik sekali jawabannya. Kang Gito berkisah ketika pada saat hatinya terbuka terhadap ajaran Islam, dia sebenarnya sudah mulai mengurangi kebiasaan-kebiasaan maksiatnya. Dia sudah jarang pergi ke pesta-pesta urakan, mengurangi minum-minum dan bermabok-mabokan dan ‘ngedrug’. Namun lingkungan pergaulannya yang sudah dijalaninya bertahun-tahun tidak serta merta memahami hal tersebut, selalu saja ada ajakan untuk kembali ‘tercebur’ baik datangnya dari teman yang tidak mengetahui perubahan pada dirinya maupun yang sudah tahu tapi beranggapan ini hanya ‘angin surga’ sementara. Ketika kang Gito memutuskan untuk merubah gaya pakaiannya termasuk memelihara jenggot, maka dia merasa seperti mempunyai ‘benteng’ dengan identitas barunya itu. Teman-temannya mulai segan mengajak kepada hal-hal buruk yang dulunya lumrah mereka lakukan bersama-sama, dia betul-betul merasa terlindungi. Rupanya baju gamis, pakistani, peci putih dan jenggot, secara psikologis tidak sinkron dengan kemaksiatan.
Memang kelihatan agak aneh, kalau misalnya kita melihat seorang laki-laki berbaju gamis, pakai sorban dan berjenggot ‘gaya’ ustadz Abu Bakar Baasyir, mondar mandir keluar masuk tempat-tempat maksiat di Lokasari, Mangga Besar misalnya. Sekalipun mungkin bukan bermaksud hendak melakukan maksiat, namun pastilah timbul pertanyaan dibenak pelacur maupun germo yang mangkal disana : “pakai sorban koq kesini?”. Bahkan bagi pihak yang berpakaian simbol-simbol itupun akan berpikir seribu kali untuk pergi mendekati tempat maksiat, minimal mungkin akan mengganti pakaiannya dengan pantalon, kemeja, dasi atau jas gaya Eropa, karena memang pakaian tersebut terlihat ‘nyambung' dengan tempat-tempat seperti itu. Ada pengalaman seorang teman ketika melakukan jamuan bisnis, mengajak relasinya ke sebuah karaoke. Kebetulan teman tersebut belum sempat bercukur sehingga wajahnya dihiasi jenggot agak panjang. Seperti biasa di ‘karaoke room’ mereka memesan perempuan penghibur untuk menemani dan pertanyaan pertama yang diterimanya dari perempuan penghibur tersebut adalah : “ Bapak punya jenggot koq mainnya di karaoke?”
Seribu empat ratus tahun yang lalu, Rasulullah berkata kepada para sahabat :”Hendaklah kamu memelihara jenggot”, disitu Rasul yang ummi sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat besar, memproklamirkan suatu identitas yang secara psikologis akan memisahkan umat dari perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Disitu Rasulullah menciptakan ‘benteng yang tidak terlihat’ yang bisa dipakai umat untuk menjaga dirinya dari ketersesatan.
Demikianlah seharusnya kita memandang ajaran-ajaran Islam, kita sebaiknya berpikir melihat sisi positifnya dan mampu memanfaatkan ajaran tersebut menjadi sesuatu yang menunjang kegiatan beragama kita. Tidak seharusnya umat Islam ‘yang sudah maju’ berpikiran apriori , seolah-olah simbol-simbol Islam tersebut adalah gambaran dari cara berpikir sempit dan ketinggalan jaman, lebih merupakan budaya Arab, tidak sesuai lagi dengan tata pergaulan modern, dan yang lebih aneh lagi, ketika kita merubah ‘baju’ dari gamis dan sorban kepada kemeja, jas dan dasi, sebenarnya kita cuma berpindah dari suatu simbol ke simbol yang lain., yang belum tentu bisa menggambarkan terpisahnya kesalehan dan kemaksiatan.
Memang dengan menunjukan identitas ke-Islaman, kita bisa tergelincir kepada ria, pamer bahkan sampai dipakai untuk menipu calon mertua misalnya (supaya kelihatan orang baik-baik), namun tentunya semuanya berpulang kepada diri masing-masing, untuk itu kita bisa belajar dari kang Gito, memakai simbol-simbol Islam ternyata membuat dia bisa selamat, kalau tidak hari ini kita masih melihat Gito Rollies sebagai seorang penyanyi urakan, berlompat-lompatan dipanggung seperti orang kesurupan, lupa bahwa umur makin tua, makin dekat ke batas akhir.

Dengarkan Nasyidnya duet bersama Opick-Tahun 1976

SEKILAS ALMARHUM GITO ROLLIES

SEKILAS ALMARHUM GITO ROLLIES

MENGENANG ALMARHUM GITO ROLLIES
Siapa yang tidak kenal kang Gito Rollies ?, eksistensinya di dunia musik Indonesia yang begitu lama, sejak tahun 70’ an sampai sekarang membuat dia dikenal oleh lintas generasi, baik kaum bapak-bapak dan ibu-ibu (yang ditahun 70’ an masih menjadi kawula muda dan akrab dengan musik the Rolies, musik anak muda pada waktu itu) maupun para ABG jaman milenium sekarang sekalipun image ‘sang maestro’ tersebut sudah agak bergeser kepada sosok yang akrab dengan simbol-simbol agama Islam.
Pada mulanya, wajarnya anak muda yang punya energi berlebih, kang Gito ditahun 70’an ikut arus pergaulan, bahkan dalam beberapa hal malah menjadi simbol dari ‘gaya’ anak muda pada waktu itu, pakaian kucel dan celana jean belel ala hippies, hidup diisi dengan pesta pora dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan mabuk dan ‘ngeboat’ dijalaninya sebagai kegiatan sehari-hari. Kalau kita berimajinasi, seandainya kang Gito ‘konsisten’ dengan gaya hidupnya sampai sekarang, terbayang gambaran laki-laki setengah baya, lima puluhan dengan rambut keriting gondrong acak-acakan, pakai anting ditelinga kiri, umumnya selalu mengenakan baju kaos buntung memperlihatkan tato ‘metal’ dibahu. Walaupun muka sudah tergurat raut ketuaan, namun cara berbicara masih tidak kalah dengan ABG, banyak pakai bahasa gaul dan sedikit agak teler. Kalau lagi manggung terbayang gerakan-gerakan energik, loncat dan berlari dari satu ujung panggung ke ujung yang lain, sambil sesekali berteriak ‘memanasi’ penonton.
Namun sosok kang Gito yang kita lihat sekarang benar-benar diluar perkiraan, hampir tidak pernah kita lihat dia tidak memakai baju gamis Arab, atau model ‘Pakistani’, kopiah putih dikepala yang berambut pendek, kadang-kadang menenteng tas kain sederhana, berjenggot panjang dan sebagian sudah terlihat memutih. Bicarapun sudah tidak meledak-ledak, agak kalem, bahkan sering nyeletuk ‘ subhanallah, masya Allah, astaghfirullah’, Dan kalau lagi manggung menyanyikan lagu, lebih sering yang bernuansa ke-Islaman bahkan tidak jarang dilantunkan sambil menangis.
Ketika ditanya mengapa dia sekarang selalu bergaya ‘sangat Islami’ dan cenderung memperlihatkan simbol-simbol ‘yang kebanyakan merupakan budaya Arab, bukan suatu hal yang prinsipil dalam ajaran Islam’, menarik sekali jawabannya. Kang Gito berkisah ketika pada saat hatinya terbuka terhadap ajaran Islam, dia sebenarnya sudah mulai mengurangi kebiasaan-kebiasaan maksiatnya. Dia sudah jarang pergi ke pesta-pesta urakan, mengurangi minum-minum dan bermabok-mabokan dan ‘ngedrug’. Namun lingkungan pergaulannya yang sudah dijalaninya bertahun-tahun tidak serta merta memahami hal tersebut, selalu saja ada ajakan untuk kembali ‘tercebur’ baik datangnya dari teman yang tidak mengetahui perubahan pada dirinya maupun yang sudah tahu tapi beranggapan ini hanya ‘angin surga’ sementara. Ketika kang Gito memutuskan untuk merubah gaya pakaiannya termasuk memelihara jenggot, maka dia merasa seperti mempunyai ‘benteng’ dengan identitas barunya itu. Teman-temannya mulai segan mengajak kepada hal-hal buruk yang dulunya lumrah mereka lakukan bersama-sama, dia betul-betul merasa terlindungi. Rupanya baju gamis, pakistani, peci putih dan jenggot, secara psikologis tidak sinkron dengan kemaksiatan.
Memang kelihatan agak aneh, kalau misalnya kita melihat seorang laki-laki berbaju gamis, pakai sorban dan berjenggot ‘gaya’ ustadz Abu Bakar Baasyir, mondar mandir keluar masuk tempat-tempat maksiat di Lokasari, Mangga Besar misalnya. Sekalipun mungkin bukan bermaksud hendak melakukan maksiat, namun pastilah timbul pertanyaan dibenak pelacur maupun germo yang mangkal disana : “pakai sorban koq kesini?”. Bahkan bagi pihak yang berpakaian simbol-simbol itupun akan berpikir seribu kali untuk pergi mendekati tempat maksiat, minimal mungkin akan mengganti pakaiannya dengan pantalon, kemeja, dasi atau jas gaya Eropa, karena memang pakaian tersebut terlihat ‘nyambung' dengan tempat-tempat seperti itu. Ada pengalaman seorang teman ketika melakukan jamuan bisnis, mengajak relasinya ke sebuah karaoke. Kebetulan teman tersebut belum sempat bercukur sehingga wajahnya dihiasi jenggot agak panjang. Seperti biasa di ‘karaoke room’ mereka memesan perempuan penghibur untuk menemani dan pertanyaan pertama yang diterimanya dari perempuan penghibur tersebut adalah : “ Bapak punya jenggot koq mainnya di karaoke?”
Seribu empat ratus tahun yang lalu, Rasulullah berkata kepada para sahabat :”Hendaklah kamu memelihara jenggot”, disitu Rasul yang ummi sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat besar, memproklamirkan suatu identitas yang secara psikologis akan memisahkan umat dari perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Disitu Rasulullah menciptakan ‘benteng yang tidak terlihat’ yang bisa dipakai umat untuk menjaga dirinya dari ketersesatan.
Demikianlah seharusnya kita memandang ajaran-ajaran Islam, kita sebaiknya berpikir melihat sisi positifnya dan mampu memanfaatkan ajaran tersebut menjadi sesuatu yang menunjang kegiatan beragama kita. Tidak seharusnya umat Islam ‘yang sudah maju’ berpikiran apriori , seolah-olah simbol-simbol Islam tersebut adalah gambaran dari cara berpikir sempit dan ketinggalan jaman, lebih merupakan budaya Arab, tidak sesuai lagi dengan tata pergaulan modern, dan yang lebih aneh lagi, ketika kita merubah ‘baju’ dari gamis dan sorban kepada kemeja, jas dan dasi, sebenarnya kita cuma berpindah dari suatu simbol ke simbol yang lain., yang belum tentu bisa menggambarkan terpisahnya kesalehan dan kemaksiatan.
Memang dengan menunjukan identitas ke-Islaman, kita bisa tergelincir kepada ria, pamer bahkan sampai dipakai untuk menipu calon mertua misalnya (supaya kelihatan orang baik-baik), namun tentunya semuanya berpulang kepada diri masing-masing, untuk itu kita bisa belajar dari kang Gito, memakai simbol-simbol Islam ternyata membuat dia bisa selamat, kalau tidak hari ini kita masih melihat Gito Rollies sebagai seorang penyanyi urakan, berlompat-lompatan dipanggung seperti orang kesurupan, lupa bahwa umur makin tua, makin dekat ke batas akhir.
-
Dengarkan Nasyidnya duet bersama Opick-Tahun 1976

ROCK-ROCKER is Not STYLES but CARACTERS

Pernah gue denger di salah satu stasiun TV, ada seorang musisi yang bilang ;

"Kurang apanya lagi sih dari musik dan gaya-gaya personil band gue? Kurang gimana gemuruhnya sih aransemen dan lagu yang gue bikin?, tapi kayaknya masyarakat kita (Indonesia) meragukan ngerocknya band gue!"

Gue Cuma berfikir kalo dia + bandnya cuma sekedar memainkan lagu yang dibikin dengan gaya Rock, dari penampilan dan "something" yang gak bisa dilihat mata dan didengar pake kuping, gak ada sama sekali karakternya sebagai Rocker (Band Rock).


Lain lagi cerita tentang seorang penyanyi (Almarhum) (yang gak mau dibilang Rocker, tapi sudah terlanjur dicap sebagai Rocker oleh masyarakat), walaupun dia bawain lagu dangdut, keroncong, malah pernah bawain lagu seriosa + dengan cara dan gaya penyanyi seriosa, tetap saja dibilang Rocker, malah dianggap sebagai Simbol Icon Rock Indonesia.

Terus dalam kehidupan kesehariannya Diapun sudah berubah total dari gaya Rocker ke gaya Kyai/Ustadz . tapi tetep aja "sesuatu yang gak bisa dilihat pake mata dan didengar pake kuping" (gue istilahin sendiri yaitu "Rock Spirit") tampil begitu jelas pada sosoknya .

Jadi saran gue buat musisi-musisi bumi tanah pertiwi, gak perlu ngaku-ngaku/mengklaim status musik maupun gaya personilnya dengan gaya-gaya tertentu (mis: Rock), cukup berkaryalah sesuai dengan keinginan dan mengalirnya kegelisahan hati nurani sendiri. Biarkan masyarakatlah yang menilai dan memberi penghargaan terhadap karya-karya anda.

Para Rocker-Rocker Sejati banyak yang bilang: "Jadi Rocker bukan pilihan atau keinginan, melainkan jati diri yang tumbuh dengan sendirinya seiring dengan tempaan kehidupan dan berjalannya sang waktu.

Dalam buku biografinya Ozzy Osborne, dia bosan dan benci dengan segala pertanyaan dan komentar-komentar mengenai dirinya sewaktu masih liar / brutal dalam dunia musik rock. Sekarang malah dia lebih suka menjadi seorang ayah / suami dari anak-anak dan istrinya, dan dia lebih mementingkan keluarganya.

Begitupula dengan Mick Dower Jagger, dibalik liarnya tingkah dia, ternyata dia seorang ayah yang overprotective dan disiplin terhadap anak-anaknya.

Dari contoh-contoh yang gue sodorin, jadilah rocker yang lebih mengutamakan kualitas musiknya daripada gaya atau sensasinya. Tanpa anting-anting, Tatto dan berbagai aksesoris lainnya yang cenderung serem, kalau memang rock spirit dan kualitas musiknya OK, Gue rasa gak perlu lagi kita ngaku-ngaku sebagai rocker. Biarkan masyarakat yang menilai dan memberi stempel pada kita.

Melihat kenyataan dunia musik rock Bumi Pertiwi sekarang ini kayaknya jauh merosot kalau dibandingkan dengan era-era tahun 70-80 an. Penggemar musik rock sejati rindu dengan hadirnya lagu-lagu macam; Baby Rock-SAS band, Musisinya-GodBless, atau gaya Brassbandnya Rollies, Rock Progresivenya Guruh Gipsy dll.


Dengan dibantunya teknologi dalam dunia musik, masa sih musisi-musisi sekarang gak bisa berkarya dengan kualitas yang lebih baik daripada para pendahulunya????, yang kadang berani tampil dipanggung tanpa dibekali efek-efek suara, benar-benar tampil seadanya tapi bisa menyuguhkan kualitas yang bikin penontonnya heboh!!! Coba dengar lagu "Huma di atas bukitnya" Godbless, bisa terdengar begitu indah walau, kalo gue bilang itu hasil rekamannya kayak direkam pake tape recorder biasa, dan sound system yang dipake kayaknya cuma alat pengeras suara biasa dan sederhana.

Ada apa dengan semua kenyataan itu????

SPIRIT ROCK-lah yang mesti digali (itulah jawabannya).

Kisah Gito Rollies & Michelle

Bangun Sugito, penyanyi rock bertampang ugal-ugalan yang beken dengan nama Gito Rollies, kini, seperti katanya, memperbaiki citra dirinya. "Gue sudah tua, tampang berandal sudah tidak cocok lagi," katanya. Rambutnya yang kribo kini dicukur pendek. Minuman keras mulai dijauhinya.

Sekarang ia rajin salat lima waktu dan membuka-buka Alquran. Satu lagi perubahan: Gito sudah nikah - resmi Istrinya, bukan artis, juga bukan orang Indonesia. Ia menyunting gadis Belanda totok, Isolde van de Revt, kelahiran Bangkok dua puluh tiga tahun yang lalu. Perkawinan dilangsungkan di KUA Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, secara Islam 1 September 1984u. "Yang tak ada sangkut pautnya dengan keluarga, pokoknya, tidak diundang. Tak ada pesta, tak ada resepsi."

Di mana ketemunya? "Pokoknya, gua pacaran sama dia sudah tiga tahun," ujar Gito tanpa menjawab apa yang ditanya. "Saya suka pribadinya, ia masuk Islam karena kata dia apa yang terkandung dalam Quran sejalan dengan pikirannya."

Michelle, panggilan bininya itu, lancar berbahasa Indonesla. Ia mengajar di Play Group Pondok Indah, dekat dengan rumah orangtuanya yang saat ini bekerja di perwakilan KLM - pcrusahaan penerbangan Belanda. Dan Gito, penyanyi yang terjun ke film ini, tinggal di rumah mertuanya itu. Enak, ya? "Wah, saya tak bisa berkomunikasi dengan mertua. Mereka tak bisa berbahasa Indonesia, gua sendiri kagak gablek bahasa sono," jawab Gito. (Tempo; September 1984)

Kisah Cinta Gito dan Uci Bing Slamet

Sudah tiga tahun Uci Bing Slamet pacaran dengan Bred Ford, penyanyi berdarah indian-Spanyol, yang berdomisili di AS. Uci masih berat untuk menikah, karena Uci sulit pisah dengan mama dan Galih, putrinya.

Di pesta pernikahan penyanyi Deddy Dores pertengahan bulan lalu, Uci Bing Slamet digandeng seorang cowok. Pacar? "Bukan, teman kok, sama-sama orang film," jawab Uci.

Lalu, yang mana pacar putri almarhum Bing Slamet ini? Tidak ada di Indonesia.Ia jauh di Amerika. Sudah tiga tahun ini Uci pacaran dengan Billy Bred Ford, penyanyi berdarah campuran Indian-Spanyol, yang berdomisili di AS. "Karena kesibukan, sudah delapan bulan kami tak bertemu," ujar Uci lagi. Padahal, Billy sudah berulang kali meminta Uci untuk menjadi istrinya. Sebenarnya, Uci pun didesak keluarganya untuk segera menikah, mengingat usianya sudah 30 tahun. "Kalau saya terima, artinya saya harus ikut ke Amerika, ini berat -- sebab saya sulit pisah dengan mama," alasannya. Ia kini memang tinggal di Jalan Arimbi bersama ibunya.

Yang juga diberatinya adalah Galih. "Kalau ke AS, saya harus bawa Galih, padahal mama dan neneknya di Bandung sangat sayang," kata Uci lagi. Galih, kini delapan tahun, adalah anak Uci dari Gito Rollies. Tentang Gito, penyanyi rock, Uci berkomentar: "Dia bukan jodoh saya, kalau jodoh kan dia tak kawin dengan Michele." Michele itu istri Gito yang resmi.

Menurut Uci, Gito dan Michele sangat sayang pada Galih. Hubungan Uci dan Gito pun lancar. "Saya seperti saudara dengan Gito, istri, dan keluarganya. Kalau Galih kangen bapaknya, saya antar ke rumah bapaknya di Bandung," Uci melanjutkan. (Tempo, Januari 1991)

Galih Kenang Itikaf Bersama Sang Ayah

Di mata Galih Satria Permadi, Gito Rollies adalah sosok ayah yang membanggakan dan teladan. Sangat jelas terkenang oleh Galih saat beritikaf bersama sang ayah. Meski sudah mengetahui penyakit kanker kelenjar getah bening yang diderita ayahnya, Galih tetap terhenyak saat mendapat kabar Gito Rollies meninggal.

"Saya kaget kali, saya tidak menyangkanya," ujar Galih lirih kepada detikbandung, sembari menitikkan air mata yang tak kuasa ditahan.Anak Gito dari pernikahannya dengan Uci Bing Slamet itu sangat dekat dengan ayahnya. Berbagai kenangan indah semasa hidup mantan rocker yang kemudian menjadi dai itu pun melekat di ingatan Galih.

Yang paling indah dituturkannya yaitu, saat diajak Gito itikaf ke mesjid-mesjid di wilayah Bandung. Kegiatan ini terakhir kali dilakukan pada November 2007."Saat itu ayah mengajak saya itikaf ke mesjid-mesjid. Ini pengalaman yang sangat berharga bagi saya dan ayah saya. Hal ini beberapa kali kami lakukan," tutur Galih.

Setelah mengetahui ayahnya meninggal, Galih mengiklaskannya.Baginya, seorang Gito Rollies adalah orang yang bijaksana, tegas dan disiplin. "Ayah mengajarkan banyak hal pada saya," kenangnya. (Detik Bandung)

Album Terakhir Gito Rollies

Rasanya ini adalah album solo pertama Bangun Sugito Tukiman atau yang lebih dikenal sebagai Gito Rollies,eksponen dari grup brass rock Bandung The Rollies. Sejak memilih jalan Allah, Gito Rollies memang lebih mencurahkan suasana musikal dengan lagu bertema Islami. Karakter vokalnya yang bluesy memang masih mencuat.

Beberapa waktu sebelumnya, Gito Rollies lebih banyak tampil sebagai bintang tamu di album religius semisal di albumnya Opick dan beberapa nama lainnya. Kali ini,menjelang tibanya bulan suci Ramadhan (2007),Gito Rollies hadir lebih utuh. Setidaknya ada 2 hits the Rollies yang dibawakan kembali oleh Gito Rollies yaitu Hari Hari karya Oetje F Tekol yang diambil dari album New Rollies Vol.3 di tahun 1978 dan lagu Kau Yang Kusayang dari album Kemarau New Rollies di tahun 1979.

Tetapi tema lirik kedua lagu The Rollies itu diubah sedikit pada bagian liriknya menjadi lebih Islami. Lagu Hari Hari tampaknya yang banyak mengalami perubahan makna lirik, dari tema lirik yang cenderung hedonistik duniawi berubah menjadi tatanan religius yang kental.Lirik Hari Hari digubah ulang oleh Agus Idwar, mantan Snada.

Sedangkan lagu Kau Yang Kusayang yang aslinya dinyanyikan Delly Djoko Alipin atau Delly Rollies dengan lengkingan vokal yang tinggi, kini dibawakan dengan syahdu. Makna kekasih pun bergeser menjadi kecintaan terhadap Allah SWT. Gito menyanyikan dengan dukungan kelompok Gigi.

Uniknya, kedua lagu tersebut baik Hari Hari dan Kau Yang Kusayang justru ditulis oleh pemusik Nasrani yaitu Oetje F Tekol dan Ignatius Hadianto, adik kandung almarhum A. Riyanto. Suara serak Gito Rollies memang mampu menyejukkan penikmatnya. Paling tidak lagu-lagu yang dikemas di album ini menjadi suluh untuk mengingatkan langkah kita sebagai manusia. Simak saja lagu Detik Hidup

Detik detik berlalu
Dalam hidup ini
Perlahan tapi pasti
Menuju mati

Atau simaklah lirik sejuk lainnya :

bangun tidur
bersihkan isi hati
bersihkan kotoran di hati
jelang malam
ikhlaskan hari ini
banyaknya keinginan yang tak kudapati

Ah, andai kita semua bisa melakukan semua apa yang dilantunkan Gito.

Denny Sakrie, Pengamat Musik

Tidak Untuk Ajojing

Band Rollies, Bandung, masih mencari bentuk yang mantap : mengkombinasikan jazz, rock dan musik klasik.

Dengan mendapat kunjungan yang berlimpah, band Rollies dari Bandung tampil di Teater Terbuka TIM 2 dan 3 Oktober 1976. Separuh penggemar rock domestik pernah menyangka bahwa grup ini adalah salah satu raksasa musik pop yang bakal memberikan udara baru bagi perkembangan musik. Harapan diletakkan pada pribadi-pribadi pemain yang mempunyai kecakapan memainkan berbagai alat musik, memiliki latar belakang musik yang serius, serta kemampuan vokal yang yang merata, termasuk seorang maskot bernama Gitoselalu berusaha meniadi James Brown Indonesia. Hidup grup ini pernah putus karena adanya persoalan yang menyangkut komposisi pemain. Kini para penggemarnya bilang: "Raksasa itu bangkit lagi".

Lebih dari 10 alat gesek berbaris di belakang mereka untuk memberikan latar yang empuk terhadap musik keras mereka yang kadangkala menyerupai jazz, soul, rock dan klasik. Lagu buka mereka yang pertama adalah sabetan dari album Rick Wakeman yang bernama The Myths and Legends of King Arhur. Lagu yang pernah menjadi pujaan remaja ini dibawakan dengan baik serta memberikan kesan pertama yang mantap. Banyak orang terpagut lalu diam-diam mulai mencoba mempercayai anak-anak yang dipimpin oleh Benny Likumahuwa (30 tahun) itu.

Dalam penampilan selanjutnya, Rollies masih terus mencoba untuk memanfaatkan barisan penopang mereka yang terdiri dari 2 pemain cello, 2 alto, 8 biola. Sehingga awak mereka, yang total jenderal berjumlah 26 orang, telah mencoba mengisi seluruh ruang Teater Halaman dengan bunyi santai campur bunyi-bunyian keras. Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago
- Benny LikumahuaSudah dicoba untuk mengadakan komposisi penampilan silih berganti antara yang lembut dan yang keras.

Tetapi variasi-variasi tersebut hanya sempat membersitkan kesan bahwa Rollies masih hendak mencari bentuk yang mantap. Mereka belum menetapkan warna mereka dengan jelas, kecuali memang kemudian tampak kaya karena telah memainkan berbagai macam kemungkinan dalam diri mereka. Terutama sekali rupa-rupanya mereka bakalan banyak mengandalkan alat-alat tiup. Warna mereka mirip pada jazz rock sebagaimana yang dihasilkan oleh grup Chicago. Hal ini diakui terang-terangan oleh Benny. "Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago". Bedanya, Rollies masih memperalat lagu-lagu orang lain, sementara Chicago sudah satu dengan lagu-lagu mereka.

Menonjol malam itu adalah Bangun Sugi-to alias Gito, lelaki berambut kribo yang berusia 28. Vokalis ini memiliki tampang yang cukup komersiil sebagai pajangan di atas panggung. Ia mengenakan seragam putih dengan pita-pita di leher. Gerakan-gerakannya luwes dan merangsang. Dia gemar berteriak-teriak tapi berhasil mem-berikan interpre-tasi dan penjiwaan pada la-gu-lagu yang dibawakannya hingga penon-ton seperti terbawa serta. Ia nyabet lagu James Brown yang bernama Man's World dan kemudian menyanyikan lagu I've been loving too long yang penuh dengan variasi. Orang tidak peduli lagi apakah ia masih doyan narkotik yang pernah melahapnya selama 3 tahun. Suaranya yang serak dan lantang serta enerjinya yang berlimpah-limpah seringkali terlalu diobral, sehingga kadangkala ia lebih terasa menyanyi untuk memuaskan, dirinya sendiri daripada untuk didengarkan penontonnya.

Tapi Gito tak ayal lagi merupakan tontonan yang menarik, di samping Delly Joko yang duduk dengan tenangnya menunggui keyboard. Suaranya bagus, sopan tetapi memikat, merupakan kunci penenang suasana manakala sudah habis diobrak-abrik Gito.

Ajojing

Malam itu, sempat pula sebuah lagu buah tangan Stravinsky yang berjudul Fire Bird dari khazanah klasik diturunkan. Benny yang kurus jangkung dengan pakaian yang menyilaukan, berdiri dengan seriusnya memimpin alat-alat gesek, sementara rekan-rekannya kemudian masuk memberikan aksentuasi yang merubah lagu klasik itu menjadi separuh panas. Banyak juga yang mengantuk karena sebelumnya mengharapkan Rollies akan terus mendentum-dentum. Tapi sementara para pengamat musik, kelihatannya bisa menghargai usaha-usaha Rollies dalam mencari warnanya sendiri. Apalagi mereka tidak lupa untuk mempersembahkan sebuah lagu Indonesia karangan mereka sendiri yang bernama Setangkai Bunga yang manis dan mengarah lagu-lagu jenis "hiburan" pribumi dari kelas yang "mantap".

Penampilan Rollies yang kuyup hujan pada malam kedua masih merupakan tanda-tanya. Karena mereka sendiri tidak dengan jelas menggariskan musiknya sehingga para peminatnya pun masih meraba-raba. Naga-naganya mereka akan mengawinkan jazz, rock dan musik klasik. Mereka yang suka lagu-lagu untuk "ajojing" tidak akan lama tertarik pada grup ini. Tetapi penonton yang suka menikmati musik sebagai musik, mungkin akan menganggapnya sebagai sebuah usaha yang berharga. Asal saja Rollies mampu melaksanakan perkawinan itu tidak hanya dalam lagu-lagu berbahasa Ingggeris, tapi lagu-lagu ciptaan mereka sendiri.

Cari yang aneh

Grup ini sebenarnya sudah berusia 9 tahun. Pernah menggegerkan karena pemain drumnya -- Iwan tewas di ujung jarum narkotik. Kini dengan pimpinan Benny Likumahua (Flute/sax) yang sering muncul bersama Jack Lesmana, Rollies mencoba tampil dengan formasi baru: Uce F Tekol (bass), Delly Joko (keyboard), TZ Iskandar (sax), Didiet Maruto (sax), Jimmy Manoppo (drum), Bonnie Nurdaya (gitar utama), Bangun Sugito (vokal), Benny sendiri sax. Rollies baru mengumpulkan 5 LP (2 buah di Singapura). Sejak 2 bulan yang lalu mereka teken kontrak di klab malam Flamingo. Berikut ini wawancara dengan Benny dan Gito.

Anda merasa masuk kelompok musik apa?

Kami tidak menyebut Rollies kelompok rock, kami belum berani menyebut kelompok apa. Tujuan kami memang untuk menjadi kelompok jazz rock yang baik. Tetapi kami sendiri bukan spesialis rock. Sudah terlalu banyak kelompok rock. Cari yang aneh sedikit. Jazz rock, oke, Funky, oke, juga sedikit klasik.

Mengapa condong ke jazz rock?

Memang sengaja kami arahkan ke sana dan ternyata kawan-kawan setuju. Alasannya, jazz rock lebih luwes dalam segi mendapatkan penggemar bisa lebih luas. Saya yakin orang-orang akan bisa menerima, meskipun mereka agak terlambat menerima musik-musik yang berat. Saya melihat jazz rock sudah punya publik, sementara golongan menengah ke atas. Publik musik di Indonesia memang masih kacau. Maksud saya, publik yang baik adalah publik yang tidak memaki-maki kepada jenis pertunjukan yang tak disukainya, paling mereka terus pergi.Jadi yang senang senang pop tak memaksakan nonton jazz yang senang jazz tak memaksakan diri nonton rock.

Kenapa Rollies main di klab malam?

Kami tidak mengingkari, kami butuh uang juga. Tapi yang penting, dengan bermain di klab malam kami sering bertemu, anggaplah itu suatu latihan. Kami memang sedang membina kekompakan.

Kenapa jarang membawakan lagu-lagu sendiri?

Kami tak punya kesempatan rekaman-rekaman lagi. Produser takut musik macam kami nggak laku. Tapi apa jeleknya membawakan karya-karya orang lain? Coba lihat Andy William dan Tom Jones kan mereka juga membawakan karya-karya orang lain?
Kisah Gito Rollies & Michelle

Bangun Sugito, penyanyi rock bertampang ugal-ugalan yang beken dengan nama Gito Rollies, kini, seperti katanya, memperbaiki citra dirinya. "Gue sudah tua, tampang berandal sudah tidak cocok lagi," katanya. Rambutnya yang kribo kini dicukur pendek. Minuman keras mulai dijauhinya.

Sekarang ia rajin salat lima waktu dan membuka-buka Alquran. Satu lagi perubahan: Gito sudah nikah - resmi Istrinya, bukan artis, juga bukan orang Indonesia. Ia menyunting gadis Belanda totok, Isolde van de Revt, kelahiran Bangkok dua puluh tiga tahun yang lalu. Perkawinan dilangsungkan di KUA Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, secara Islam 1 September 1984u. "Yang tak ada sangkut pautnya dengan keluarga, pokoknya, tidak diundang. Tak ada pesta, tak ada resepsi."

Di mana ketemunya? "Pokoknya, gua pacaran sama dia sudah tiga tahun," ujar Gito tanpa menjawab apa yang ditanya. "Saya suka pribadinya, ia masuk Islam karena kata dia apa yang terkandung dalam Quran sejalan dengan pikirannya."

Michelle, panggilan bininya itu, lancar berbahasa Indonesla. Ia mengajar di Play Group Pondok Indah, dekat dengan rumah orangtuanya yang saat ini bekerja di perwakilan KLM - pcrusahaan penerbangan Belanda. Dan Gito, penyanyi yang terjun ke film ini, tinggal di rumah mertuanya itu. Enak, ya? "Wah, saya tak bisa berkomunikasi dengan mertua. Mereka tak bisa berbahasa Indonesia, gua sendiri kagak gablek bahasa sono," jawab Gito. (Tempo; September 1984)

Kisah Cinta Gito dan Uci Bing Slamet

Sudah tiga tahun Uci Bing Slamet pacaran dengan Bred Ford, penyanyi berdarah indian-Spanyol, yang berdomisili di AS. Uci masih berat untuk menikah, karena Uci sulit pisah dengan mama dan Galih, putrinya.

Di pesta pernikahan penyanyi Deddy Dores pertengahan bulan lalu, Uci Bing Slamet digandeng seorang cowok. Pacar? "Bukan, teman kok, sama-sama orang film," jawab Uci.

Lalu, yang mana pacar putri almarhum Bing Slamet ini? Tidak ada di Indonesia.Ia jauh di Amerika. Sudah tiga tahun ini Uci pacaran dengan Billy Bred Ford, penyanyi berdarah campuran Indian-Spanyol, yang berdomisili di AS. "Karena kesibukan, sudah delapan bulan kami tak bertemu," ujar Uci lagi. Padahal, Billy sudah berulang kali meminta Uci untuk menjadi istrinya. Sebenarnya, Uci pun didesak keluarganya untuk segera menikah, mengingat usianya sudah 30 tahun. "Kalau saya terima, artinya saya harus ikut ke Amerika, ini berat -- sebab saya sulit pisah dengan mama," alasannya. Ia kini memang tinggal di Jalan Arimbi bersama ibunya.

Yang juga diberatinya adalah Galih. "Kalau ke AS, saya harus bawa Galih, padahal mama dan neneknya di Bandung sangat sayang," kata Uci lagi. Galih, kini delapan tahun, adalah anak Uci dari Gito Rollies. Tentang Gito, penyanyi rock, Uci berkomentar: "Dia bukan jodoh saya, kalau jodoh kan dia tak kawin dengan Michele." Michele itu istri Gito yang resmi.

Menurut Uci, Gito dan Michele sangat sayang pada Galih. Hubungan Uci dan Gito pun lancar. "Saya seperti saudara dengan Gito, istri, dan keluarganya. Kalau Galih kangen bapaknya, saya antar ke rumah bapaknya di Bandung," Uci melanjutkan. (Tempo, Januari 1991)

Galih Kenang Itikaf Bersama Sang Ayah

Di mata Galih Satria Permadi, Gito Rollies adalah sosok ayah yang membanggakan dan teladan. Sangat jelas terkenang oleh Galih saat beritikaf bersama sang ayah. Meski sudah mengetahui penyakit kanker kelenjar getah bening yang diderita ayahnya, Galih tetap terhenyak saat mendapat kabar Gito Rollies meninggal.

"Saya kaget kali, saya tidak menyangkanya," ujar Galih lirih kepada detikbandung, sembari menitikkan air mata yang tak kuasa ditahan.Anak Gito dari pernikahannya dengan Uci Bing Slamet itu sangat dekat dengan ayahnya. Berbagai kenangan indah semasa hidup mantan rocker yang kemudian menjadi dai itu pun melekat di ingatan Galih.

Yang paling indah dituturkannya yaitu, saat diajak Gito itikaf ke mesjid-mesjid di wilayah Bandung. Kegiatan ini terakhir kali dilakukan pada November 2007."Saat itu ayah mengajak saya itikaf ke mesjid-mesjid. Ini pengalaman yang sangat berharga bagi saya dan ayah saya. Hal ini beberapa kali kami lakukan," tutur Galih.

Setelah mengetahui ayahnya meninggal, Galih mengiklaskannya.Baginya, seorang Gito Rollies adalah orang yang bijaksana, tegas dan disiplin. "Ayah mengajarkan banyak hal pada saya," kenangnya. (Detik Bandung)

Album Terakhir Gito Rollies

Rasanya ini adalah album solo pertama Bangun Sugito Tukiman atau yang lebih dikenal sebagai Gito Rollies,eksponen dari grup brass rock Bandung The Rollies. Sejak memilih jalan Allah, Gito Rollies memang lebih mencurahkan suasana musikal dengan lagu bertema Islami. Karakter vokalnya yang bluesy memang masih mencuat.

Beberapa waktu sebelumnya, Gito Rollies lebih banyak tampil sebagai bintang tamu di album religius semisal di albumnya Opick dan beberapa nama lainnya. Kali ini,menjelang tibanya bulan suci Ramadhan (2007),Gito Rollies hadir lebih utuh. Setidaknya ada 2 hits the Rollies yang dibawakan kembali oleh Gito Rollies yaitu Hari Hari karya Oetje F Tekol yang diambil dari album New Rollies Vol.3 di tahun 1978 dan lagu Kau Yang Kusayang dari album Kemarau New Rollies di tahun 1979.

Tetapi tema lirik kedua lagu The Rollies itu diubah sedikit pada bagian liriknya menjadi lebih Islami. Lagu Hari Hari tampaknya yang banyak mengalami perubahan makna lirik, dari tema lirik yang cenderung hedonistik duniawi berubah menjadi tatanan religius yang kental.Lirik Hari Hari digubah ulang oleh Agus Idwar, mantan Snada.

Sedangkan lagu Kau Yang Kusayang yang aslinya dinyanyikan Delly Djoko Alipin atau Delly Rollies dengan lengkingan vokal yang tinggi, kini dibawakan dengan syahdu. Makna kekasih pun bergeser menjadi kecintaan terhadap Allah SWT. Gito menyanyikan dengan dukungan kelompok Gigi.

Uniknya, kedua lagu tersebut baik Hari Hari dan Kau Yang Kusayang justru ditulis oleh pemusik Nasrani yaitu Oetje F Tekol dan Ignatius Hadianto, adik kandung almarhum A. Riyanto. Suara serak Gito Rollies memang mampu menyejukkan penikmatnya. Paling tidak lagu-lagu yang dikemas di album ini menjadi suluh untuk mengingatkan langkah kita sebagai manusia. Simak saja lagu Detik Hidup

Detik detik berlalu
Dalam hidup ini
Perlahan tapi pasti
Menuju mati

Atau simaklah lirik sejuk lainnya :

bangun tidur
bersihkan isi hati
bersihkan kotoran di hati
jelang malam
ikhlaskan hari ini
banyaknya keinginan yang tak kudapati

Ah, andai kita semua bisa melakukan semua apa yang dilantunkan Gito.

Denny Sakrie, Pengamat Musik

Tidak Untuk Ajojing

Band Rollies, Bandung, masih mencari bentuk yang mantap : mengkombinasikan jazz, rock dan musik klasik.

Dengan mendapat kunjungan yang berlimpah, band Rollies dari Bandung tampil di Teater Terbuka TIM 2 dan 3 Oktober 1976. Separuh penggemar rock domestik pernah menyangka bahwa grup ini adalah salah satu raksasa musik pop yang bakal memberikan udara baru bagi perkembangan musik. Harapan diletakkan pada pribadi-pribadi pemain yang mempunyai kecakapan memainkan berbagai alat musik, memiliki latar belakang musik yang serius, serta kemampuan vokal yang yang merata, termasuk seorang maskot bernama Gitoselalu berusaha meniadi James Brown Indonesia. Hidup grup ini pernah putus karena adanya persoalan yang menyangkut komposisi pemain. Kini para penggemarnya bilang: "Raksasa itu bangkit lagi".

Lebih dari 10 alat gesek berbaris di belakang mereka untuk memberikan latar yang empuk terhadap musik keras mereka yang kadangkala menyerupai jazz, soul, rock dan klasik. Lagu buka mereka yang pertama adalah sabetan dari album Rick Wakeman yang bernama The Myths and Legends of King Arhur. Lagu yang pernah menjadi pujaan remaja ini dibawakan dengan baik serta memberikan kesan pertama yang mantap. Banyak orang terpagut lalu diam-diam mulai mencoba mempercayai anak-anak yang dipimpin oleh Benny Likumahuwa (30 tahun) itu.

Dalam penampilan selanjutnya, Rollies masih terus mencoba untuk memanfaatkan barisan penopang mereka yang terdiri dari 2 pemain cello, 2 alto, 8 biola. Sehingga awak mereka, yang total jenderal berjumlah 26 orang, telah mencoba mengisi seluruh ruang Teater Halaman dengan bunyi santai campur bunyi-bunyian keras. Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago
- Benny LikumahuaSudah dicoba untuk mengadakan komposisi penampilan silih berganti antara yang lembut dan yang keras.

Tetapi variasi-variasi tersebut hanya sempat membersitkan kesan bahwa Rollies masih hendak mencari bentuk yang mantap. Mereka belum menetapkan warna mereka dengan jelas, kecuali memang kemudian tampak kaya karena telah memainkan berbagai macam kemungkinan dalam diri mereka. Terutama sekali rupa-rupanya mereka bakalan banyak mengandalkan alat-alat tiup. Warna mereka mirip pada jazz rock sebagaimana yang dihasilkan oleh grup Chicago. Hal ini diakui terang-terangan oleh Benny. "Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago". Bedanya, Rollies masih memperalat lagu-lagu orang lain, sementara Chicago sudah satu dengan lagu-lagu mereka.

Menonjol malam itu adalah Bangun Sugi-to alias Gito, lelaki berambut kribo yang berusia 28. Vokalis ini memiliki tampang yang cukup komersiil sebagai pajangan di atas panggung. Ia mengenakan seragam putih dengan pita-pita di leher. Gerakan-gerakannya luwes dan merangsang. Dia gemar berteriak-teriak tapi berhasil mem-berikan interpre-tasi dan penjiwaan pada la-gu-lagu yang dibawakannya hingga penon-ton seperti terbawa serta. Ia nyabet lagu James Brown yang bernama Man's World dan kemudian menyanyikan lagu I've been loving too long yang penuh dengan variasi. Orang tidak peduli lagi apakah ia masih doyan narkotik yang pernah melahapnya selama 3 tahun. Suaranya yang serak dan lantang serta enerjinya yang berlimpah-limpah seringkali terlalu diobral, sehingga kadangkala ia lebih terasa menyanyi untuk memuaskan, dirinya sendiri daripada untuk didengarkan penontonnya.

Tapi Gito tak ayal lagi merupakan tontonan yang menarik, di samping Delly Joko yang duduk dengan tenangnya menunggui keyboard. Suaranya bagus, sopan tetapi memikat, merupakan kunci penenang suasana manakala sudah habis diobrak-abrik Gito.

Ajojing

Malam itu, sempat pula sebuah lagu buah tangan Stravinsky yang berjudul Fire Bird dari khazanah klasik diturunkan. Benny yang kurus jangkung dengan pakaian yang menyilaukan, berdiri dengan seriusnya memimpin alat-alat gesek, sementara rekan-rekannya kemudian masuk memberikan aksentuasi yang merubah lagu klasik itu menjadi separuh panas. Banyak juga yang mengantuk karena sebelumnya mengharapkan Rollies akan terus mendentum-dentum. Tapi sementara para pengamat musik, kelihatannya bisa menghargai usaha-usaha Rollies dalam mencari warnanya sendiri. Apalagi mereka tidak lupa untuk mempersembahkan sebuah lagu Indonesia karangan mereka sendiri yang bernama Setangkai Bunga yang manis dan mengarah lagu-lagu jenis "hiburan" pribumi dari kelas yang "mantap".

Penampilan Rollies yang kuyup hujan pada malam kedua masih merupakan tanda-tanya. Karena mereka sendiri tidak dengan jelas menggariskan musiknya sehingga para peminatnya pun masih meraba-raba. Naga-naganya mereka akan mengawinkan jazz, rock dan musik klasik. Mereka yang suka lagu-lagu untuk "ajojing" tidak akan lama tertarik pada grup ini. Tetapi penonton yang suka menikmati musik sebagai musik, mungkin akan menganggapnya sebagai sebuah usaha yang berharga. Asal saja Rollies mampu melaksanakan perkawinan itu tidak hanya dalam lagu-lagu berbahasa Ingggeris, tapi lagu-lagu ciptaan mereka sendiri.

Cari yang aneh

Grup ini sebenarnya sudah berusia 9 tahun. Pernah menggegerkan karena pemain drumnya -- Iwan tewas di ujung jarum narkotik. Kini dengan pimpinan Benny Likumahua (Flute/sax) yang sering muncul bersama Jack Lesmana, Rollies mencoba tampil dengan formasi baru: Uce F Tekol (bass), Delly Joko (keyboard), TZ Iskandar (sax), Didiet Maruto (sax), Jimmy Manoppo (drum), Bonnie Nurdaya (gitar utama), Bangun Sugito (vokal), Benny sendiri sax. Rollies baru mengumpulkan 5 LP (2 buah di Singapura). Sejak 2 bulan yang lalu mereka teken kontrak di klab malam Flamingo. Berikut ini wawancara dengan Benny dan Gito.

Anda merasa masuk kelompok musik apa?

Kami tidak menyebut Rollies kelompok rock, kami belum berani menyebut kelompok apa. Tujuan kami memang untuk menjadi kelompok jazz rock yang baik. Tetapi kami sendiri bukan spesialis rock. Sudah terlalu banyak kelompok rock. Cari yang aneh sedikit. Jazz rock, oke, Funky, oke, juga sedikit klasik.

Mengapa condong ke jazz rock?

Memang sengaja kami arahkan ke sana dan ternyata kawan-kawan setuju. Alasannya, jazz rock lebih luwes dalam segi mendapatkan penggemar bisa lebih luas. Saya yakin orang-orang akan bisa menerima, meskipun mereka agak terlambat menerima musik-musik yang berat. Saya melihat jazz rock sudah punya publik, sementara golongan menengah ke atas. Publik musik di Indonesia memang masih kacau. Maksud saya, publik yang baik adalah publik yang tidak memaki-maki kepada jenis pertunjukan yang tak disukainya, paling mereka terus pergi.Jadi yang senang senang pop tak memaksakan nonton jazz yang senang jazz tak memaksakan diri nonton rock.

Kenapa Rollies main di klab malam?

Kami tidak mengingkari, kami butuh uang juga. Tapi yang penting, dengan bermain di klab malam kami sering bertemu, anggaplah itu suatu latihan. Kami memang sedang membina kekompakan.

Kenapa jarang membawakan lagu-lagu sendiri?

Kami tak punya kesempatan rekaman-rekaman lagi. Produser takut musik macam kami nggak laku. Tapi apa jeleknya membawakan karya-karya orang lain? Coba lihat Andy William dan Tom Jones kan mereka juga membawakan karya-karya orang lain?

AWAL MUNCULNYA DAN PERJALANAN INDO POP PROGRESSIVE

AWAL MUNCULNYA DAN PERJALANAN INDO POP PROGRESSIVE
Oleh : MH Alfie Syahrine

Memang susah bila kita mencari suatu permulaan darimana dan kapan permulaan itu terjadi seperti halnya musik Indo pop progressive tapi saya lebih cenderung mengatakan bahwa awal suatu eksperimen Indo pop progressive berasal dari buah tangan Idris Sardi yang mengiringi lilis Suryani dalam sebuah album sunda yang yang berjudul ”Antosan” (Bali Record 1964) dimana Idris Sardi benar benar all out dalam menggarap aransemen lagu lagu Lilis itu dengan menggabungkan elemen elemen musik klasik dan pop dengan full orkestra hingga hasilnya sangat mengagumkan…ada beberapa lagu sunda yang dinyanyikan Lilis Suryani yang arransemen-nya membuat saya tidak pernah bosan mendengarkannya … very classical oriented ! namun setelah itu dunia musik berkualitas nasionalpun redup kembali dengan bermunculannya penyanyi penyanyi pop keluaran Irama Record milik Mas Yos boss-nya El Shinta dulu seperti ; Djon Karjono , Gusti Imanuddin, Liliana, Rita & Nita dll.

Waktupun berjalan hingga pada awal tahun tujuhpuluhan bermunculanlah group band-group band bak jamur dimusim hujan tapi dari sekian banyak group band yang muncul dan melegenda hanya terdapat beberapa saja seperti : Rhapsodia, The Rollies, Giant Step, Harry Rusli, Rasela, The Rhythm Kings ,AKA, SAS, Godbless, Superkid , Shark Move dan Favourite’s Group dan pada dua band inilah muncul lagu lagu yang aransemennya sangat berkualitas dan pantas di sebut sebagai Indo Pop Progressive kita lihat saja Favourite’s Group didalam lagu-lagu “Mawar Berduri”dan “Teratai Putih” elemen elemen klasiknya sangat kental sekali tetapi A Riyanto sebagai pengarang lagu dan aranjer sangat menguasai sekali didalam meramu keduannya hingga lagu yang sesungguhnya “berat” menjadi enak didengar begitu juga bila kita menyimak lagu “Sakit Dikenang Dibuang Sayang” yang dilantunkan oleh Arie vokalis andalan Favourite’s Group (hingga Vol 3) lagu dan arransemen-nya sangat pas dan saya tidak berlebihan kalau penulis mengatakan bahwa lagu ini sangat berbau klasik sekali aransemen-nya( sudah berkali-kali saya mau meminjam PH-nya pada rekans KPMI untuk saya convert ke CD tapi tidak terlaksana terus). Sedangkan Shark Move begitu berhasil membawakan lagu “Bingung” dan “Madat” (sedangkan prog rock-nya sudah banyak dibahas oleh Mas Toro)

Pada tahun 1974 Maulani (entah dimana beliau sekarang) menyanyikan sebuah karya A Riyanto dengan iringan band 4 Nada yang untuk penggarapan lagu ini 4 Nada full orkestra judulnya “Biarkan Bunga Berkembang” (yang kemudian dinyanyikan lagi oleh A Riyanto tapi sudah kehilangan nuansa spiritual touch nya) yang mana bagi saya lagu ini luar biasa sekali baik lirik maupun arransemennya oleh karenanya hingga kini album Maulani yang pertama ini masih tetap menjadi target hunting saya.

Namun lagi lagi pada kurun waktu setelah pertengahan tahun tujupuluhan dunia musik pop berkualitas redup kembali karena lagu lagu pop era model Eddie Silitonga, Kembar Group, Madesya Group, UsBross dll yang lagu lagunya mendayu dayu bermunculan sedangkan musik panggung dan rock sudah nyaris punah tergilas oleh musik New Wave dan Disco dan pada masa masa kritis seperti itu muncullah Barong Band yang merekrut anak anak Pegangsaan seperti Debby Nasution dan Gaury maka jadilah dua album Barong Band yang melawan arus saat itu; namun mereka tidak bisa dibilang sukses walaupun ada beberapa lagu yang sempat dikenal seperti “Halleluya” dan “Superstar Tenggo” yang menyindir bahwa di Indonesia ini begitu mudahnya masyarakat atau jurnalis memberi predikat superstar... hingga pelawak Ratmi B 29-pun dijuluki superstar. Tidak lama kemudian Harry Rusli dengan proyek ajaibnya yang menggabungkan musik tradisionil Sunda dengan rock maka jadilah album “Titik Api” yang banyak orang mengatakan sebagai sebuah mahakarya original yang luar biasa dimana Harry mentradisionilkan rock dengan suksesnya. Bandung yang pada tahun tujuhpuluhan disebut sebut sebagai kota sarang-nya musisi sangat produktif salah satunya adalah Giant Step yang di motori Benny Soebardja melemparkan album “Kukuh Nan Teguh” yang menurut pak Riza Sihbudi permainan Triawan pada keyboard sebagai luar biasa pada masa itu, inilah album murni GS yang seluruhnya berbahasa Indonesia karena sebelumnya band ini baik di panggung maupun pada rekaman selalu membawakan lagu lagu Inggris hasil ciptaan mereka

Seiring dengan suksesnya Titik Api anak anak Jakartapun tidak mau ketinggalan , di pehujung tahun 1975 Guruh Soekarnoputra dan anak anak Gipsy serta Abadi Susman dan beberapa musisi Bali biboyong ke studio Tri Angkasa untuk membuat suatu proyek raksasa memadukan gamelan Bali dengan musik rock ,Guruh mengajak Kompiang Raka ( yang kemudian menjadi Wakil Direktur Gedung Kesenian Jakarta), untuk memuluskan eksperimennya.
Berbeda dengan harry Rusli yang mentradisionilkan musik rock ,Guruh sebaliknya dia merock-kan musik tradisionil seperti Ebehard Schoener musisi dari Jerman sebelumnya dengan proyek Bali Agung. Album Guruh Gipsy ini memang sangat megah terutama pada lagu Indonesia Maharddeka walaupun masih terasa bau Genesis, Deep Purple dan Triumvirat didalamnya.


Pada tahun 1977 anak anak Godbless dan Young Gipsy bergabung membuat suatu gebrakan yang membuka cakrawala baru dunia permusikan Indonesia , mereka adalah Yockie Suryoprayogo,Keenan Nasution, Donny Fattah dan Odink Nasution membuat musik baru yang kemudian kita kenal sebagai Pop Progressive didalam album LCLR Prambors Rasisonia dimana mereka membuat suatu revolusi baru dalam dunia permusikan di Indonesia yaitu musik berkualitas gabungan antara pop, klasik dan rock dimana untuk pertama kalinya Yockie menebar suara suara orkestra dari melotron yang masih asing buat pendengar musk pop yang saat itu hanya dikonsumsi oleh anak anak muda kalangan Kebayoran dan Menteng saja yang kemudian merambah ke Rawamangun dan Tebet serta berkelanjutan menjadi suatu penomena di kalangan remaja Indonesia. Lagu Lilin Lilin Kecil merupakan suatu terobosan baru didalam kasanah musik pop Indonesia dimana lagu, penyanyi arransemen dan musisi pengiringnya sangat cocok saling menopang satu sama lain hingga album LCLR itu meledak luar biasa ! , Begitu juga dengan album Chrisye ‘Badai Pasti Berlalu’ samalah fenomenalnya seperti ketika Genesis mengeluarkan album “Foxtrot “ mendapat tanggapan dan pujian yang sangat luar biasa sekali dan itu melambungkan nama Chrisye dan Yockie Suryoprayogo sebagai penanyi dan aranjer yang patut diperhitungkan (namun ironisnya para musisi yang mendukung dan mensukseskan album ini nyaris tidak dikenal oleh masyarakat seperti para musisi yang mengiringi LCLR I&II ! ).

Dan pada tahun 1978 tidak disangka sangka anak-anak SMA Perguruan Cikini yang tergabung dalam kelompok Rara Ragadi melemparkan suatu album yang berjudul “Rara Ragadi” , walaupun mereka masih muda-muda akan tetapi talenta bermusiknya luar biasa!. Banyak lagu lagu didalam album itu yang sangat progressive apalagi pada lagu Rara Ragadi yang menceritakan dendam kesumat seorang jagoan wanita yang patah hati karena ditinggal kekasihnya, lagu ini luar biasa sekali dari segi arransemen musiknya. Iwan Arsyad almarhum sangat cekatan sekali didalam menyanyikan lagu ini sedangkan Riza Arsyad yang bermain pada keyboard sangat mengagumkan sekali permainannya walaupun saat itu usianya belum mencapai tujuhbelas tahun begitu juga gebrakan drum Cendy Luntungan yang mantap dan rapi sekali disamping kehebatan Raidy Noor didalam memainkan gitarnya. Sayang group yang sangat berbakat ini bubar manakala Iwan Arsyad sang vokalis wafat. Kini Riza tidak pernah aktif dimusik progressive lagi dia mengkhususkan diri pada musik jazz Raidy Noor masih tetap istiqomah dengan prog rock-nya di Cockpit sejak awal delapan puluhan menggantikan Harry Minggus sedangkan Cendy Luntungan lebih banyak sebagai travelling drummer dari satu band ke band lainnya.

Namun tidak lama kemudian dunia permusikan dikejutkan kembali dengan kemunculan Keenan Nasution yang melempar album perdananya ” Dibatas Angan Angan” suatu proyek album solo yang megah dengan seabreg musisi berkualitas yang terlibat didalamnya. ”Dibatas Angan Angan” ini memang sangat megah terutama pada lagu Dibatas Angan Angan, Negeriku Cintaku, Buku Harian dan Cakrawala Senja sedangngkan lagu Negeriku Cintaku seperti telah menjadi lagu kebangsaan-nya Keenan disetiap pagelaran musiknya walapun ada ”Close To The Edge ”nya Yes menyelinap disana, tapi walaupun demikian Keenan masih tetap bisa bertahan dalam warna musik Indo Prog hingga album ”Tak Semudah Kata Kata”

Setelah Dibatas Angan Angan ini ,Abhamma band-nya anak-anak IKJ yang sebagai band pendamping konser Dibatas Angan Angannya Keenan di TIM tahun 1979 melemparkan album ”Alam Raya” dengan lagu lagu yang liriknya ditulis oleh Tubagus benny seperti ;Malam, Alam Raya, Asmara dll yang semuanya sangat apik sekali . Abhama meramu musik rock dengan lagu lagu klasik karya Debussy , Johan Sebastian Bach dll dengan apik dan cermat sekali, hingga album ini disebut sebut oleh pengamat musik barat sebagai the perfect Italian progressive style album dengan vokalis-nya yang berbakat, Iwan Madjid.

Disusul pada awal tahun 1980-an oleh Harry Sabar yang setelah sukses dengan lagu ciptaannya ”Sesaat” melempar album ”Lazuardy” sambil menggandeng anak anak Pegangsaan seperti Odink, Debby dan Keenan Nasution serta pianis classic Marusya Nainggolan. Album ini sangat classic oriented yang dibaurkan dengan Geneis style terutama permainan gitar Odink dan keyboardnya Debby.

Yockie Suryoprayogo yang berkolaborasi dengan Idris Sardi mengeluarkan album ”Musik Saya Adalah Saya” yang sebenarnya sangat bagus sekali akan tetapi karena jamannya sudah berubah maka album ini secara komersial tidak menghasilkan keuntungan lain dengan Fariz RM yang bukan saja menangguk keuntungan finansial tetapi juga popularitas setelah dia merilis album berbau disco ”Sakura” dan ”Selangkah Keseberang” .

Nampaknya Yockie sebagai pamungkas atau penutup era keemasan-nya Indo Progressive di tanah air karena dibelahan dunia sana trend musik-pun telah berubah, wabah ” newwave” sudah tidak dapat dibendung lagi seperti uraian kekecewan Jurgent Fritz keyboardist Triumvirat tentang tidak kondusifnya lagi dunia musik saat itu terhadap musik progressive yang tergilas oleh musik musik ” Punk” dan di Indonesia-pun demikian pula era ”Semangka Berdaun Sirih”, ”Gelas Gelas Kaca” atau ”Sepatu Kulit Rusa”dll telah mewabah dunia permusikan Indonesia yang sayangnya Keenan-pun ikut juga terbawa arus disana dan membuat penggemarnya terhenyak ..bengong. dengan handmoog Keenan menyanyikan satu lagu karangan Melky Guslow ”Lain Dulu Lain Sekarang” disebuah acara Aneka Ria Safari dan lagunya tidak jauh dari model...”Semangka Berdaun Sirih”.... memang pada era 1980-an itu tidak ada satupun album Indo Progressive yang terekam didalam catatan sejarah musik nasional kecuali Godbless merilis ”Cermin” yang dahsyat itu walaupun Abadi Susman hilaf menyelipkan Tarkus-nya ELP kedalam lagu ”Anak Adam” .

Ada juga tampil (reinkarnasi-nya dari Abhamma) WOW yang dimotori oleh Iwan Madjid memeriahkan blantika musik Indo Pop Progressive diawal tahun delapanpuluhan tapi sayangnya album pertama yang sebenarnya dahsyat itu agak melenceng juga dengan ”copy paste” Firth of The Fifth-nya Genesis dilagu ”Armagedon” sehingga apresiasi para penggemar musik Indo Prog jadi tertahan, mereka berhasil melempar tiga buah album sebelum bubar, ditambah sound track film Lupus.

Pada tahun 1988 Iwan Madjid melemparkan album solonya yang berbau prog juga dengan mendaur ulang salah satu lagunya di Abhamma yaitu ”Asmara” dibantu oleh Fariz RM dan Eet Syahrani.Iwan sebenarnya sangat berbakat tetapi dia tidak sepenuh hati menerjunkan dirinya kedunia musik hingga namanya-pun pada akhirnya hilang didalam blantika musik papan atas.

Hingga di awal tahun 1990-an anak-anak Pegangsaan kembali menggebrak dunia permusikan tanah air dengan mengeluarkan 3 album yang berwarna musik Progressive seperti pada lagu Manusia kera dan Palestina II yang mana musiknya benar-benar bernuasa Genesis . Hingga pada menjelang akhir 1990’an Godbless sebagai senior band muncul kembali dengan merilis album ”Semut Hitam” dengan warna musik progrssive yang ngerock sekali dan dahsyat seperti pendapat pak Riza Sihbudi terutama kedahsyatan permainan Yockie, Ian dan Teddy dihampir semua lagu lagu terutama lagu ”Trauma”

Di era reformasi ini nampaknya angin segar mulai berhembus kembali di dunia Indo Pop progressive... seiring bangkitnya kembali musik progressive di seluruh dunia.

Pada tahun 2002 group Dewa di album ”Dewa Bintang Lima” dalam lagu ”Risalah Hati”, lagu yang menduduki tangga teratas selama lebih dari tiga bulan itu sangat ngeprog sekali dan berbau Genesis terutama Andra gitarisnya jelas sekali permainannya kearah progressive oriented ala Steve Hackett. Pada era tahun 2000-an ini juga dalam lagu “Janji kita” Kelompok anak anak muda berbakat; Keris Patih, permainan gitarnya juga kental dengan warna Steve Hackett dan dimainkannya dengan apik sekali.

Dengan reuninya kembali group prog pogressive rock papan atas seperti ; Asia, Genesis, Yes dan Triumvirat dimana band-band inilah yang telah memberikan ilham pada para pemusik Indo pop progressive maupun progressive rock Indonesia di era 1970-an dulu, akan dapat kembali menggairahkan musik Indo Pop Progressive di Nusantara, semoga. (Sumber: prog-rock@groups.yahoo.com)

Juni 18, 2010

I SAW HER STANDING THERE

Lirik lagu Classic Rock by:XYZ FROM A 2 Z Lost Informations

The Beatless

Intro : E7
E7………………......……………..A7……………...................E7
E7 Well she was just 17, and you know what I mean
………………………………………………B7
And the way she looked was way beyond compare
E………………E7………….A7…………C7
So how could I dance with another – oooooh
………E7………..B7…….E7
When I saw her standing there


E7…………………………….A7……E7
Well she looked at me, and I, I could see
………………………………………….B7
That before too long I’d fall in love with her
E…………….E7…………A7………….C7
She wouldn’t dance with another – ooooooh
………..E7………B7…….E7
When I saw her standing there


Reff:
……………….A7…………………….A7
Well my heart went boom when I crossed that room
……A7…………..........B7….A7
And I held her hand in mine
………….E7……………………………..A7…………….E7
Well we danced trough the night and we held each other tight
………………………………………B7
And before too long I fell in love with her
E………………E7…………A7………C7
Now I’ll never dance with another- oooooh
…….E7………….B7……E7
Since I saw her standing there


Coda:
……E7………….B7…….E7
Since I saw her standing there
……………..E7……….B7…….E7
Yeah, since I saw her standing there


Notes:
Taken from: “Primbon Jawa Kuno with Sanscerta word”